Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) bekerjasama dengan Dinas Pariwisata Kebudayaan dan Kepemudaan Olahraga Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatra Barat (Sumbar), mengadakan peringatan Hari Penegakan Kedaulatan Negara 2023.
Peringatan Hari Penegakan Kedaulatan Negara dilatarbelakangi peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949, yang merupakan sebuah peristiwa yang sangat penting maknanya bagi eksistensi dan penegakan kedaulatan negara, yang telah diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Sumbar Syaifullah didampingi Kepala Bidang Sejarah, Nilai Tradisi dan Adat Fadhli Junaidi mengatakan, peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 merupakan peristiwa penting dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Pemerintah secara resmi menetapkan tanggal 1 Maret sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara. Hal ini berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 2 tahun 2022 tanggal 24 Februari 2022 lalu.
Penetapan Hari Penegakan Kedaulatan Negara tersebut belakangan menimbulkan polemik di ruang publik. Namun demikian penetapan tersebut bertujuan untuk mengenang Serangan Umum 1 Maret 1949 yang merupakan respons terhadap Agresi Militer Belanda II atas pendudukan Ibu kota RI di Yogyakarta yang tak lepas dari peran Sri Sultan HB IX dan Panglima Besar Jenderal Soedirman.
Agresi Militer Belanda II adalah serangan yang dilancarkan Belanda pada 19-20 Desember 1948. Operasi Gagak atau pada bahasa Belanda disebut dengan Operatie Kraai ini berawal dari serangan di Yogyakarta yang saat itu merupakan ibu kota dan pusat pemerintahan Indonesia.
Syaifullah memaparkan, serangan pun meluas ke sejumlah kota di Jawa dan Sumatera. Serangan yang dilakukan Belanda ini bertujuan untuk kembali mengambil alih negara ini dari bangsa Indonesia. Namun nyatanya serangan dan rencana yang dijalankan oleh Belanda ini tidak benar-benar terwujud karena semua elemen bangsa ini telah mempersiapkan diri untuk tetap mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia.
Sebelum penetapan Hari Kedaulatan Negara, sejak tahun 2006 telah ditetapkan tanggal 19 Desember sebagai Hari Bela Negara, hal tersebut diatur dalam Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2006.
“Latar belakang ditetapkannya 19 Desember sebagai Hari Bela Negara adalah peristiwa terbentuknya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dalam rangka mengisi kekosongan kepemimpinan Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam rangka bela negara,” ungkap Syaifullah.
Seperti yang telah tercatat dalam berbagai literatur sejarah bahwa PDRI dideklarasikan di Sumatera Barat, sehingga Sumatera Barat memiliki keterikatan dalam mempertahankan kedaulatan bangsa ini. Seperti yang dituliskan dalam judul di atas, Bangka Belitung juga menjadi salah satu daerah bersejarah dalam rangkaian sejarah pertahanan kedaulatan ini. Peran Bangka Belitung adalah sebagai saksi sejarah pengasingan para Pemimpin Bangsa ini oleh Belanda. Dalam banyak catatan historis disebutkan bahwa Dua tokoh pendiri negeri yaitu Soekarno Hatta diasingkan ke Muntok, Kabupaten Bangka Barat, setelah agresi militer Belanda pada 1949.
Hatta didatangkan ke Bangka pada 22 Desember 1948, sedangkan Soekarno 2 bulan setelahnya yakni pada Februari 1949. Keduanya menempati lokasi yang berbeda, Hatta berada di sebuah wisma di atas Bukit Menumbing sedang Soekarno di Kota Muntok. Pada mulanya, Hatta bersama Pringgodigdo, MR. Assat & Soerjadarma ditempatkan dalam penjara di tengah ruangan dengan ukuran 4x6.
Namun kemudian tindakan tersebut mendapat kecaman dari PBB hingga akhirnya Hatta ditempatkan dalam sebuah kamar. Sedangkan Soekarno bersama Agus Salim, Moch. Roem dan Sutan Syahrir ditempatkan di Wisma Ranggam atau Pesanggrahan Muntok.
Kemudian peran Yogyakarta selain sebagai Ibukota negara sebelum terjadinya Agresi Militer ke 2 oleh Belanda, daerah ini kemudian menjadi pusat Serangan Umum 1 Maret 1949 yang terjadi di Yogyakarta. Serangan ini telah dipersiapkan oleh jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III dengan mengikutsertakan pimpinan pemerintah sipil setempat berdasarkan instruksi dari Panglima Divisi III, Kol. Bambang Sugeng. Serangan ini bertujuan untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih ada dan cukup kuat, dengan harapan dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB.
Serangan umum 1 Maret 1949 ini akhirnya tersebar hingga ke Mr. Alexander Andries Maramis, yang berkedudukan di New Delhi melalui siaran radio yang ditangkap dari Burma. Serangan besar-besaran Tentara Nasional Republik Indonesia terhadap Belanda ini menjadi Headlines di berbagai media cetak yang terbit di India. Serangan Umum 1 Maret mampu menguatkan posisi tawar dari Republik Indonesia, mempermalukan Belanda yang telah mengklaim bahwa RI sudah lemah.
Serangan umum 1 Maret ini kemudian menjadi pendorong terjadinya serangan-serangan lainnya yang dilakukan oleh TNI kepada Belanda. Tak lama setelah Serangan Umum 1 Maret terjadi Serangan Umum Surakarta yang menjadi salah satu keberhasilan pejuang RI yang paling gemilang karena membuktikan kepada Belanda, bahwa gerilya bukan saja mampu melakukan penyergapan atau sabotase, tetapi juga mampu melakukan serangan secara frontal ke tengah Kota Solo yang dipertahankan dengan pasukan kavelerie, persenjataan berat - artileri, pasukan infantri dan komando yang tangguh. Serangan umum Solo inilah yang menyegel nasib Hindia Belanda untuk selamanya. (*)