Sementara Gading masih terus direbus dalam gentong air mendidih. Kakek tua itu sudah menghabiskan sepertiga batu inti racun raja kalajengkingnya hingga iapun mulai menyerah. Tapi siapa yang bisa menyangka proses yang menyakitkan itu akan mengubah jalan nasib Gading yang menyedihkan. Rasa sakit yang harus dihadapinya setiap hari selama berbulan-bulan itu memberikan harapan baginya untuk merangkak keluar dari takdirnya sabagai sampah.
Kakek tua itu uring-uringan. Sudah lebih dari tiga bulan ia mencari cara menawarkan Racun naga Biru, tetapi tidak ada kemajuan. Entah sudah berapa banyak sumber daya yang digunakan. Bahkan Racun Inti Kalajengking yang selama ini ia rahasiakan telah habis cukup banyak.
Teknik menyerang racun dengan racun yang sepadan, yang semula ia sangka bisa menawarkan Racun Naga Biru ternyata tidak mangkus. Hanya berhasil menahan agar racun ganas itu tidak memecah jantung dan menyebabkan kematian dalam tiga bulan.
Tiga bulan sesungguhnya waktu yang cukup lama. Belum ada dalam catatan tabib manapun orang yang terkena Racun Naga Biru bisa bertahan selama ini. Setidaknya, itu adalah sebuah prestasi. Ketua Aliansi Dunia Persilatan-pun mengakui prestasi itu.
Prestasi itu tidak diumumkan. Menjadi salah satu rahasia besar dalam aliansi. Namun berkat prestasi itu, kedudukan kakek tua yang dikenal dengan julukan Tabib Malaekat itu makin kokoh dalam aliansi. Ia diakui sebagai tabib utama, melangkahi tabib-tabib ajaib lainnya. Itu cukup mengobati kekecewaannya.
Hari itu, menjelang malam, Tabib Malaekat membersihkan semua bekas ramuan yang pernah digunakan untuk mengobati Gading. Ia tidak mau ada orang yang mengetahui bahan yang bisa menahan ganasnya Racun Naga Biru. Terlebih ia tidak mau ada orang yang tahu bahwa dirinyalah pemilik Racun Inti Kalajengking. Itu adalah rahasia terbesar yang berhasil ia simpan hingga saat ini.
Sebelum pergi ia melirik ke arah tubuh Gading yang telah dipindahkan ke balai bambu dalam pondok. Tubuh itu telah berubah. Warna biru akibat racun telah menghilang. Berubah menjadi pucat kehijauan, tapi tetap kaku seperti mayat.
Anehnya, tubuh Gading tidak menjadi kurus kering, meski lebih dari tiga bulan tidak makan. Tabib Malaekat menduga, tubuh itu menyerap semua ramuan yang diberikan dan menjadikannya nutrisi. Itu efek yang tidak pernah diduga kakek itu. Tetapi sekarang itu sudah tida penting lagi.
Malam ini tanpa diberikan ramuan dalam gentong, kemungkinan Racun Naga Biru akan mengganas kembali. Dalam satu hari, jantung bocah itu akan meledak. Bahkan mungkin karena racunnya telah bercampur dengan banyak ramuan lain, tidak hanya jantung, tapi tubuh bocah itu juga bisa meledak.
Ledakan itu akan membuat kawasan itu dipenuhi oleh racun ganas yang bisa membunuh semua makhluk bernyawa yang mendekat. Perlu waktu bertahun-tahun untuk menetralkan racun itu. Karena itu ia sudah meminta aliansi untuk menutup kawasan itu. Menjadikan kawasan terlarang.
Baru beberapa langkah meninggalkan pondok, kakek itu sudah mendengar erangan Gading. Sepertinya racun sudah kembali bereaksi. Makin lama erangan itu berubah menjadi jeritan kesakitan yang mendirikan bulu roma. Beruntung tempat itu jauh di belakang bukit. Tersuruk dalam hutan lebat sehingga tidak ada yang curiga dengan jeritan kesakitan itu.
Jeritan itu berlangsung sepanjang malam. Semakin lama semakin keras seperti rauangan naga yang murka. Kalau ada pendekar yang mendengar raungan itu, ia akan terkejut. Hatinya akan bergidik karena tidak ada orang biasa yang bisa menghasilkan rauangan seperti itu. Itu adalah raungan dari orang yang memiliki tenaga dalam yang luar biasa tinggi. Seorang master!
Tapi tidak ada yang mendengar. Tidak ada yang tahu, bahkan Tabib Malaekat yang saat itu telah lelap dalam tidur di kediamannya yang baru jauh di dalam benteng pusat Aliansi Dunia Persilatan.
****
Jauh sebelum Tabib Malaekat meninggalkan pondok di belakang bukit itu. Saat ia masih mengasapi Gading dengan ramuan di atas dipan yang tergantung di atas perapian, bocah itu sebenarnya telah sadar sepenuhnya. Asap ramuan itu ternyata sangat mujarab mengurangi rasa sakit mencucuk yang sebelumnya ia rasakan.
Ia sebenarnya ingin mengucapkan terima kasih atas pengobatan yang diberikan. Namun tubuhnya kaku, tidak bisa digerakkan. Jangankan untuk bicara, sekadar untuk membuka mata, ia masih tidak mampu. Ia benar-benar sudah seperti mayat. Mayat dengan kesadaran penuh.
Maka ia terpaksa mandah menerima nasib. Ia hanya bisa pasrah saat tabib itu menusuk beberapa titik ditubuhnya, memasukkan entah cairan apa. Kadang-kadang setelah ditusuk, ia merasa tubuhnya sangat nyaman. Tapi dilain saat ia merasa tusukan itu membuatnya menderita beberapa kali lipat dari rasa sakit akibat Racun Naga Biru.
Hanya butuh satu minggu untuk ia menyadari kalau Tabib Malaekat tidak memandang dirinya sebagai manusia. Hanya sebatas objek percobaan yang bisa diperlakukan seenaknya.
Gading merasa kelu. Ternyata tidak ada yang berubah dari cara orang memperlakukannya. Bahkan hingga menuju nafas terakhir, ia tetap dipandang sebagai sampah.
Ia juga tahu saat Ketua Aliansi Dunia Persilatan dan beberapa tokoh inti datang ke pondok itu. Ia sempat berharap orang yang dipandang paling mulia di Dunia Persilatan Tanah Tengah itu akan memberikan sedikit simpati kepadanya. Tapi harapan itu hanya menyisakan kecewa yang semakin tergores dalam di hatinya.
Ia hanya dipandang sebagai "tanda" yang ditinggalkan oleh Lembah Racun. Oleh Iblis Racun. Bukan sebagai manusia, apalagi murid aliansi.
Sang Ketua malah mengizinkan Tabib Malaekat melakukan apa saja pada tubuhnya untuk mencari cara menawar Racun Naga Biru sebagai modal untuk memerangi para iblis itu. Hanya itu. Orang nomor satu di Dunia Persilatan Tanah Tengah itu sama sekali tidak peduli ia hidup atau mati. Yang mereka butuhkan hanya penawar. Nyawanya tidak masuk hitungan.
Gading ingin tertawa. Menertawakan nasibnya buruknya sendiri. Ia makin menyadari bagaimana dunia berjalan. Orang yang tidak punya latar belakang keluarga besar seperti dirinya, yang tidak punya pengaruh apa-apa, ternyata memang hanya dianggap sebagai sampah. Dunia hanya ramah pada "orang-orang besar" tapi sangat kejam pada mereka yang tidak punya apa-apa.
Ia membayangkan tentang Lembah Racun. Pihak yang membuatnya harus merasakan sakit yang tidak tertahankan itu. Orang-orang lembah itu awalnya mungkin sama seperti dirinya. Orang-orang yang dianggap sampah oleh dunia. Namun dengan kepiawaiannya dengan racun orang-orang segan dan takut kepadanya. Bahkan Aliansi Dunia Persilatan yang dipandang dan diakui sebagai otoritas tertinggi juga menaruh takut padanya.
Tiba-tiba saja, penilaian buruk Gading pada lembah Racun turun beberapa poin. Bahkan tanpa sadar ia mulai mengagumi entitas yang menurutnya mampu menggoyahkan soliditas keluarga-keluarga besar hanya dengan satu hal. Racun!
Sekarang racun yang paling dibanggakan oleh Lembah Racun itu, yang ditakuti bahkan oleh alinasi itu ada di dalam tubuhnya. Alangkah senangnya bila ia bisa memanfaatkan racun itu. Menjadi orang yang bisa mengobrak-abrik dunia yang tidak adil ini.
Pikiran itu membuatnya bahagia. Tanpa sadar ia mempraktekkan alur meditasi dari kitap kumal pemberian gurunya. Pada gambar di halaman pertama, meditasi memang dilakukan sambil berbaring, cocok dengan kondisinya saat itu.
Sebelumnya saat mempraktekkan cara meditasi itu, ia tidak merasakan apa-apa. Tidak ada yang terjadi. Yah, dengan kondisi tubuhnya yang seperti sampah, memangnya apa yang bisa diharapkan? Namun karena rasa hormat pada gurunya, ia terus mempraktikkan cara meditasi itu hingga benar-benar hafal di luar kepala
Kali ini saat mencoba mempraktikkan cara meditasi itu, ia merasa ada sesuatu yang terjadi pada tubuhnya. Ia merasa ada sesuatu yang mendesak-desak untuk bergerak dalam pembuluh darahnya.
"Apa ini? Apakah ini yang disebut hawa murni?- Gading begitu bahagia memikirkan hal itu. Hingga saat ini, ketika usianya beranjak 15 tahun, belum sekalipun ia merasakan sensasi seperti itu. Ia berusaha menggerakkan desakan itu seperti arahan dalam kitap.
Ia membayangkan pembuluh darah di seluruh tubuhnya seperti sungai kecil. Desakan itu harus dialirkan melalui sungai kecil itu. Awalnya begitu susah. Desakan itu seolah tersendat, seperti aliran sungai yang dihambat batu-batu besar.
Gading makin bersemangat. Itu adalah pengalaman baru untuknya. Karena itu ia tidak pernah berhenti. Dari hari ke hari ia terus mempraktikkan cara meditasi itu.
Berlahan-lahan, batu-batu itu seperti mulai terkikis. Desakan yang ia rasakan itu mulai bergerak!
Gading sama sekali tidak tahu bahwa desakan yang ia rasakan itu adalah racun yang telah "dibekukan" oleh ramuan Tabib Malaekat. Karena berhasil dibekukan, maka racun itu tidak lagi bergerak menuju jantung hingga hidupnya bisa dipertahankan.
Ketika ia secara tanpa sengaja mengubah racun itu menjadi aliran yang bergerak dalam tubuhnya, sesungguhnya itu adalah awal dari malapetaka. Saat semua aliran itu bergerak dan berkumpul di jantung, maka jantungnya akan meledak! Riwayatnya akan tamat saat itu juga!
Tidak ada yang mengetahui hal yang berbahaya sedang terjadi. Bahwa hidup bocah itu sudah berada di ujung tanduk. Tidak Tabib Malaekat. Tidak juga diri Gading.
Namun saat racun itu mulai bergerak, rasa sakit tiba-tiba terasa mencucuk. Seperti ribuan jarum bergerak berlahan-lahan di dalam nadinya. Kalau bisa menggerakkan mulut, ia sudah akan meraung-raung menahan sakit sejadi-jadinya. Tapi tubuhnya sudah seperti mayat. Dari permukaan, tidak ada sesuatu yang terlihat.
Rasa sakit seperti cemeti berduri mencambuki kesadaran Gading. Ia ingin menghentikan aliran itu. Tetapi sudah terlambat. Alirannya terus bergerak. Makin lama makin lancar. Makin menyakitkan. Gading tinggal menunggu nasibnya dipanggil malaekat maut.
Saat itulah Tabib Malaekat melakukan percobaan terakhirnya dengan memasukkan Gading ke dalam gentong. Merebusnya dengan ramuan dan Racun Inti Kalajengking. Percobaan itu pulalah yang tanpa sengaja menyelamatkan nyawa Gading.
Saat tubuhnya dimasukkan ke dalam air mendidih, ramuan dan racun Inti Kalajengking merasuk ke kulit, terus ke daging dan pembuluh darahnya.
Racun Naga Biru mengamuk sejadi-jadinya. Seakan mengetahui ada racun lain yang ingin menyaingi. Racun Inti Kalajengking juga mengamuk. Sakitnya bukan alang kepalang. Berkali-kali lipat dari rasa sakit yang bisa ditanggungkan bocah itu.
Jika boleh memilih, Gading akan memilih kepalanya dipenggal saat itu juga agar tidak lagi merasakan sakit. Tapi ia tidak punya pilihan. Ia tidak bisa melakukan apa-apa. Ia hanya seonggok daging mati dengan kesadaran. Maka untuk pertama kali dalam hidupnya, Gading merasa telah diceburkan ke dalam neraka. Sialnya, kesadarannya tidak mengabur, seakan memang ditakdirkan untuk merasakan neraka.
Lebih dari setengah jam ia tersiksa oleh rasa sakit yang luar biasa itu. Namun setelahnya berlahan-lahan rasa sakit itu berkurang. Dua racun ganas dalam tubuhnya menjadi tenang, seperti permukaan danau.
Gading tubuhnya terasa sangat nyaman. Meski masih tidak bisa bergerak, tetapi ia tidak lagi merasakan sakit. Ramuan yang digunakan Tabib Malaekat seolah mampu membuat dua racun itu saling melilit, berkelindan lalu bercampur dengan damai.
Warna biru disekujur tubuh Gading mulai memudar sedikit demi sedikit. Makin sering Tabib malaekat merebusnya dalam ramuan, makin pudar warna biru itu.
Setiap hari, Gading terus melakukan meditasi anehnya. Tapi ia tidak mau terburu-buru lagi. Ia mengalirkan arus yang tenang dalam pembuluh darahnya itu berlahan-lahan, terus mengumpulkannya di jantung, kemudian mengalirkannya lagi ke seluruh tubuh.
Proses itu ia lakukan berulang-ulang. Setelah lancar, ia mempercepat sedikit aliran arus itu sampai jantungnya terbiasa. Makin hari makin kencang hingga tiga bulan setelah itu arus itu seakan telah otomatis berputar di seluruh tubuhnya.
Dalam tiga bulan itu tampaklah perubahan besar pada kulit tubuhnya. Warna biru telah sepenuhnya hilang berganti warna putih pucat. Namun samar-samar dari kulit pucat itu tersirat warna kehijauan.
Warna putih pucat itu sebenarnya wajar terjadi. Hampir tiga bulan Gading tidak pernah memakan sesuatu. Tubuhnya mengambil nutrisi dari ramuan mahal yang digunakan. Tanpa disadari siapapun, tubuh bocah itu seperti telah berevolusi. Ia tidak lagi membutuhkan makanan. Tubuhnya bisa menyerap makanan sendiri dari alam di sekitarnya!
Namun tubuhnya masih tidak bisa digerakkan. Tubuhnya masih seperti mayat. Hal itulah yang membuat Tabib Malaekat menyerah melanjutkan percobaan yang sangat mahal itu. Tabib itu meninggalkan Gading dalam pondok di belakang bukit. Membiarkan tubuhnya terbaring di balai-balai, menunggu mati.
Tapi Gading tidak mati. Baru puluhan meter Tabib Malaekat meninggalkan pondok, mulutnya tiba-tiba bisa digerakkan. Ia mengerang pelan. Hanya pelan, tapi tabib itu ternyata mendengarnya dari jarak puluhan meter.
Gading seperti ulat yang baru saja keluar dari kepompongnya. Berubah menjadi kupu-kupu. Makhluk yang sama sekali baru.
Kalau saja Tabib Malaekat kembali ke pondok untuk melihat keadaan Gading, ia mungkin akan terpana. Bocah itu berlahan-lahan mulai bisa menggerakkan jari-jarinya, lalu tangannya, kakinya kemudian seluruh tubuhnya sudah bisa bergerak.
Namun karena telah terlalu lama terpasung seperti mayat. Ia belum bisa leluasa bergerak. Karena itu ia tetap berbaring di balai-balai itu. Namun mulutnya tanpa sadar bersorak, menyukuri nasibnya yang telah lepas dari neraka.
Teriakan yang sebenarnya tidak seberapa keras itu terdengar seperti rauangan nun jauh di balik bukit. Tabib Malaekat mengira itu adalah teriakan kematian. Siapa menyangka teriakan itu adalah awal dari sebuah legenda.
Bersambung.....