arrow_upward

Iblis Racun Kecil

Jumat, 05 Agustus 2022 : 10.21

 

 
 

Bau ramuan obat tercium dari periuk tanah di perapian. Api kecil masih dibiarkan menyala. Mungkin untuk menjaga suhu obat agar tetap panas.

Uap putih tebal dengan bau yang pekat seketika mengepul ketika tutup periuk itu dibuka. Menyelimuti ruang sempit dalam pondok kayu itu. Uap tebal membuat pembaringan bambu yang menggantung di atas perapian tampak kabur.

Samar-samar di atas pembaringan itu terlihat sesosok tubuh terbaring. Diam. Seperti mati. Hampir setengah harian tubuh itu diasapi. Sampai ramuan dalam periuk menguap habis. Sampai matahari sedikit lagi tegak di atas kepala.

Berlahan uap putih itupun sirna bersama hembusan angin dari pintu pondok yang baru dibuka. Sosok itu mulai terlihat jelas. Laki-laki muda yang sebenarnya cakap, tetapi sekaligus mengerikan karena seluruh tubuhnya pucat membiru. Dada dan perutnya tak berombak. Tak bernafas. Persis seperti mayat.

Sungguh sayang anak secakap itu mati muda. Agaknya mati karena racun keji. Siapa orang yang begitu tega meracuni bocah yang baru seumur jagung itu?

Di sudut lain kamar, seorang laki-laki tua dengan raut muka dingin menatap sosok di pembaringan itu dengan tatapan yang sulit dilukiskan. Sudah setengah hari tubuh anak muda itu diasapi dengan ramuan obat terbaik yang dimilikinya. Namun warna membiru di tubuhnya tidak juga menghilang.

Bocah itu sesungguhnya belum mati. Jantungnya masih berdenyut meskipun sangat lemah. Kondisinya sungguh membuat miris. Tapi laki-laki tua itu malah menyunggingkan senyum senang.

Racun di tubuh bocah itu adalah racun naga biru. Racun itu akan memberikan rasa sakit yang tidak tertahankan saat mengalir bersama pembuluh darah. Rasa sakit itu akan berlipat-lipat saat racun sampai di jantung. Siapapun yang terkena racun itu akan menggeliat-geliat menahan sakit seharian hingga jantungnya pecah.

Tapi bocah itu tidak menggeliat menahan sakit. Ia tidak mati meski sudah terkena racun lebih dari sebulan. Itu berarti pengobatan yang diberikan meski tidak bisa menawar racun, tetapi bisa memperpanjang nafas orang yang terkena racun. Bagi laki-laki tua, itu adalah sebuah prestasi. Ia kembali tersenyum.

Racun naga biru adalah satu dari tiga racun mematikan di dunia persialatan Tanah Tengah yang sampai saat ini belum ada penawarnya. Bahkan Iblis Racun yang paling dicurigai sebagai pemilik racun mengerikan itu, konon juga tidak memiliki penawar. Karena itulah racun naga biru sangat jarang muncul dalam dunia persilatan. Saat racun itu muncul, maka dipastikan peristiwa besar akan mengiringinya.

Racun itu pula yang menyebabkan Aliansi Dunia Pesilatan Tanah Tengah tidak berani gegabah menyatakan permusuhan terbuka dengan Lembah Racun. Karena itu selama puluhan tahun terakhir, Lembah Racun masih terus kokoh bercokol sebagai salah satu momok dalam dunia persilatan.

Lalu bagaimana bocah ini bisa terkena racun yang begitu mengerikan? Apakah Aliansi Dunia Persilatan sudah disusupi orang-orang Lembah Racun?- Laki-laki tua itu sebenarnya tidak terlalu peduli dengan semua intrik itu. Biar itu menjadi tugas Ketua Aliansi. Baginya yang penting bisa berekperimen dengan kasus-kasus menarik di Dunia Persilatan. Dan "bertarung" dengan Racun Naga Biru adalah kesempatan sekali seumur hidup.

Bisa menundukkan racun ganas itu adalah prestasi tidak terbantahkan!

"Anak baik... anak baik...he...he...he...," kakek itu nyaris tertawa mengikik.

Ia beranjak keluar dari kamar, membawa keranjang obat. Ada satu lagi percobaan yang ingin lakukan. Percobaan yang berbahaya tapi juga sangat mahal. Bila tidak berhadapan dengan Racun Naga Biru, tidak sudi ia menggunakan cara yang menghabiskan banyak sumber daya itu.

Di luar sudah disiapkan perapian yang menyala-nyala seperti lidah setan. Diatasnya ada sebuah belanga besar berisi setengah lebih cairan bewarna merah. Cairan itu mulai bergolak. Hampir menggelegak.

Kakek itu menambahkan beberapa bahan ke dalam belanga. Tapi untuk bahan terakhir, ia tampak ragu-ragu. Bahan itu serupa batu. Hitam pekat.

Batu itu tidak tampak istimewa. Sekilas serupa dengan bebatuan yang banyak berserakan di sungai-sungai. Tetapi jika seorang ahli obat melihatnya, bulu kuduknya akan segera meremang. Bergidik ngeri.

Itu adalah inti racun Raja Kalajengking. Inti racun itu sebenarnya berwarna merah. Namun karena kadarnya sangat pekat, maka terlihat bewarna hitam. Itulah racun kedua yang tidak memiliki penawar di dunia persilatan. Sedikit saja dari batu itu digunakan bisa memusnahkan satu kota.

Tidak ada seorangpun yang berani memegang batu itu dengan tangan telanjang. Racun bisa merasuk lewat kulit. Tidak cukup sehari akan jadi mayat hangus dengan kulit melepuh merah.  

Tapi kakek tua itu sepertinya tidak terpengaruh oleh racun. Seenaknya ia memegang batu hitam itu. Tapi kalau diperhatikan lebih teliti, tangan kakek tua itu ternyata dilapisi sarung tangan tipis. Warnanya memang mirip kulit manusia hingga tidak terlihat jelas.

Meski terlihat ragu sejenak akhirnya ia melemparkan sebagian kecil batu itu ke dalam belanga. Bau yang khas, harum bercampur amis seketika mengambang di udara. Sejenak orang tua itu melongo, sayang melihat mustika kesayangannya larut dalam air. Namun sejenak kemudian ia masuk lagi ke kamar lalu membopong tubuh anak muda itu keluar dan menceburkannya dalam air belanga yang tengah menggelegak!

Tubuh anak muda itu terbenam sebatas leher. Namun meski direbus dalam air menggelegak, tubuh itu tetap diam tak bergerak. Mungkinkah takdir sudah menggariskannya untuk mati?

Anak muda itu bernama Gading. Ia berasal dari Telaga Pedang. Sebuah perguruan ternama di Tanah Tengah. Awalnya ia diterima sebagai seorang murid. Namun setelah bertahun-tahun tenaga murninya tidak kunjung bisa dibangkitkan. Ia lebih banyak ditugaskan di dapur. Menyiapkan makanan untuk orang-orang perguruan.

Ia tidak bisa menolak. Bagaimanapun ia berkeinginan untuk menimba ilmu di perguruan itu, tanpa tenaga murni, ia hanyalah sampah. Perguruan Telaga Pedang adalah perguruan yang menitik beratkan kepandaian berdasarkan tenaga murni. Makin besar tenaga murni yang dimiliki makin tinggi level yang bisa dicapai.

Gading bukannya tidak berusaha. Dari puluhan orang murid yang seangkatan dengan dirinya, mungkin usahanya yang paling keras. Bila orang berlatih enam jam sehari, ia akan berlatih 12 jam. Bila masing-masing murid ditugaskan mengambil dua ember air dari kaki bukit setiap hari untuk kebutuhan perguruan, ia akan bolak balik mengambil enam ember air.

Namun setelah tiga tahun berlatih keras, ia tidak kunjung bisa membangkitkan tenaga murninya. Bahkan saat guru yang membawanya masuk ke perguruan rela mengorbankan sebagian tenaga murninya untuk disalurkan ke tubuhnya, tenaga murninya tetap tidak terbangun.

Ia seakan ditakdirkan untuk menjadi orang cacat. Sampah.

Apalagi yang bisa ia katakan saat ia diputuskan untuk jadi "orang dapur"? Kadang ia berfikir betapa kejamnya takdir yang digariskan untuknya.

Tapi ternyata takdir tidak hanya sampai di situ. Ia diputuskan untuk tidak bisa lagi tinggal diperguruan. Gurunya, Pertapa Tak Bernama kemudian membawanya ke Aliansi Dunia Persilatan dengan harapan ada orang yang bisa membantu mengobati tubuhnya yang aneh.

Aliansi Dunia Persilatan adalah sarang naga dan harimau. Tidak hanya pendekar kenamaan, banyak juga tabib ajaib yang dipekerjakan di sana. Mungkin saja akan ada tabib yang tertarik pada tubuh bocah yang tidak normal itu dan membantu mengobatinya.

Tapi itu ternyata hanya sebatas mimpi. Beberapa orang tabib memang pernah datang melihat kondisinya. Memeriksa, lalu pergi begitu saja. Ia merasa benar-benar telah menjadi sampah.

Tapi gurunya yang tidak bisa tinggal lama di aliansi terus berupaya menyemangatinya. Sebelum sang guru kembali ke perguruan, ia meninggalkan kitap tipis yang hanya terdiri dari tiga lembar kulit kumal. Kitap itu didapatnya dari pedagang dari luar Tanah Tengah. Tulisannya tidak terbaca lagi, tapi ada gambar posisi meditasi yang aneh pada tiap lembar.

Sudah puluhan tahun kitap kumal itu dipelajari oleh Petapa tak Bernama, tetapi ia tetap tidak mengerti. Ia berfikir, mungkin saja muridnya berjodoh dengan kitab aneh itu. Sebelum pergi ia berpesan agar muridnya menghafal isi kitap itu dan membakarnya untuk mencegah kalau-kalau kitap itu berisi ilmu yang bisa membahayakan dunia persilatan kalau jatuh ke tangan golongan hitam.

Sepeninggal gurunya, Gading menghafalkan isi kitap itu lalu membakarnya. Ia berlatih tiga gerakan meditasi dalam kitap tetapi tidak menghasilkan apa-apa. Hanya kerena rasa hutang budi pada Pertapa Tak Bernama ia meneruskan berlatih berdasarkan gambar kitap itu.

Di Aliansi Dunia Persilatan nasibnya tidak berubah, bahkan lebih parah. Murid-murid senior yang mengetahui kondisi tubuhnya yang sama seperti sampah senang sekali menindasnya. Hampir setiap hari ia digiring ke tempat latihan hanya untuk dijadikan samsak. Mereka yang tidak puas hanya berlatih jurus bersama, menjadikannya sebagai lawan latih tanding.

Apa yang bisa ia andalkan untuk melawan? Ia hanya paham jurus-jurus dasar yang diajarkan untuk murid tingkat dasar yang baru masuk perguruan. Karena tidak mampu membangkitkan tenaga murni, ia tidak diperkenankan untuk belajar lebih banyak jurus.

Saat teman-teman seangkatannya sudah mencapai level empat. Ia masih berada di level dasar. Maka jadilah ia samsak. Memar dihajar setiap hari.

Suatu hari ia dihajar sampai semaput muntah darah. Ia terkapar tidak sanggup berdiri. Ia berharap pingsan saja saat itu. Sialnya rasa sakit di sekujur tubuh membuatnya terus tersadar. Samar-samar dalam penderitaan itu ia serasa melihat sesosok bayangan mendekat. Bayangan itu memeriksa tubuhnya sejenak. Lalu ia tiba-tiba merasakan perih di telapak tangan kirinya.

"Sampah ini cocok untuk memperingatkan Aliansi Dunia Persilatan untuk tidak mencampuri urusan Lembah Racun. Kematiannya tidak akan terlalu dibesar-besarkan. Tapi pesan bisa tersampaikan,"- Bocah itu tidak begitu mengerti maksud gumamam lirih itu. Tapi ia mengingatnya. Lembah Racun!

Begitulah ia bertemu dengan kakek tua di belakang bukit. Setengah harian terkapar, ia merasakan tubuhnya makin lama makin kebas. Lama-lama menjadi sakit yang tidak tertahankan. Tapi mulutnya tidak bisa lagi digerakkan. Tubuhnya seperti telah mati. Tapi rasa sakitnya sama sekali tidak berkurang, malah semakin bertambah-tambah.

Kakek tua itu tidak sengaja lewat di dekat tubuhnya terkapar. Melihat tubuhnya yang lumpuh dan membiru membuat kakek itu terperanjat. Ia langsung bisa menduga bocah itu keracunan hebat. Tapi tidak pernah terfikir bahwa itu adalah racun naga biru.

Begitulah. Hampir sebulan ia terbaring di pondok kakek itu di balik bukit. Dibalut daun-daun dan sejenis salep yang bau minta ampun. Di asapi hingga nafasnya yang tinggal satu-satu terasa sesak. Tapi tidak satupun obat-obatan itu yang bisa meringankan rasa sakit di tubuhnya.

Sebelum memasukkannya ke dalam gentong air mendidih, kakek itu telah melaporkan kejadian itu pada Ketua Aliansi Dunia Persilatan. Laporan itu membuat geger. Ketua dan beberapa tetua datang untuk memastikan jenis racun di tubuhnya. Hanya memeriksa, tidak ada yang peduli ia hidup atau mati.
 
Murid-murid yang menghajarnya diperiksa satu persatu. Pemeriksaan meluas hingga melibatkan keluarga asal murid-murid itu. Tapi hasilnya nihil. Lewat beberapa bulan, peristiwa mengegerkan itu berlahan mulai terlupakan.

Sementara Gading masih terus direbus dalam gentong air mendidih. Kakek tua itu sudah menghabiskan sepertiga batu inti racun raja kalajengkingnya hingga iapun mulai menyerah. Tapi siapa yang bisa menyangka proses yang menyakitkan itu akan mengubah jalan nasib Gading yang menyedihkan. Rasa sakit yang harus dihadapinya setiap hari selama berbulan-bulan itu memberikan harapan baginya untuk merangkak keluar dari takdirnya sabagai sampah.


Bersambung....