"Hei... Bukankah itu Gading? Cepat sekali ia kembali. Bukankah kemaren babak belur sampai hampir semaput?
"Wah... Kita beruntung. Senior Murad pasti lebih memilih latihan dengannya dibanding dengan kita. Senior itu makan tangannya tidak main-main. Aku sampai harus menyogok agar tidak harus berlatih dengannya," bisik-bisik itu mendengung lirih dari arah sekumpulan murid.
Gading mengulum senyum. Dulu, Murad adalah senior yang paling tidak ingin ia temui karena setiap kali bertemu pasti turun tangan telengas. Alasannya selalu memberikan petunjuk ilmu tingkat yang lebih tinggi. Namun cara mengajarnya brutal. Karena itu, tidak ada pelajaran yang tertinggal di otak Gading. Malahan ia harus mendapatkan perawatan seminggu setelah dihajar habis-habisan dalam latihan.
Tapi sekarang Gading bersyukur bertemu dengannya. Meski brutal, Murad tidak berbohong. Ia benar-benar mengajarkan ilmu tingkat lanjut. Gading benar-benar haus akan ilmu itu. Apalagi sekarang setelah beberapa kali dikirim ke belakang bukit untuk mendapat perawatan dengan direndam dalam belanga obat-obatan, entah mengapa, ia merasa pukulan dari seniornya itu tidak lagi terasa sakit. Ia bisa menahan semua meski benjal benjol di beberapa tempat tidak bisa dihindari.
"Selamat pagi senior," Gading memberi hormat pada seniornya itu. Ia menundukkan kepala, menyembunyikan hasrat belajar yang menggebu didadanya. Ia khawatir Murad curiga dan tidak mau "berlatih" lagi dengannya.
"Wah, Gading. bagaimana pelajaran kemaren? Sudah kau hafal semua?"- Ada senyum sinis dibibir Murad saat bertanya. Ia selalu merasa sangat puas selesai "berlatih" dengan murid yang satu ini.
"Maaf senior. Otak juniormu ini rada tumpul. Tidak banyak yang bisa terserap," jawab Gading. Ia masih menundukkan kepala. Tapi hatinya sudah berdebar-debar ingin segera mendapat "pelajaran".
"Ha...ha...ha...berarti engkau masih harus diberi pelatihan lagi. Ayo sini!" Murad segera merenggangkan kaki. Bersiap.
Gading bersorak. Tapi ia memperlihatkan raut enggan di wajahnya. Seakan takut untuk dihajar. "Tapi..."
Murad membaca raut itu dan tertawa senang. Ia mengira Gading ketakutan dan berusaha untuk menghindar. Tentu saja ia tidak akan membiarkan juniornya itu pergi sebelum memberikannya tambahan "pelajaran".
"Hei...Apa kau kira seniormu ini tidak berkompeten memberikan pelajaran sehingga engkau mau menolak?"
"Tidak senior. Maaf. Tapi teknik pernafasan yang senior ajarkan kemaren saya belum mengerti semua...," Gading memelas. Berusaha terlihat menyedihkan. Ia tidak mau hanya dipukuli. Ia mau mencuri semua pengetahuan Murad sebagai sebagai seniornya.
Murad bertambah senang melihat wajah memelas juniornya itu. Ia merasa kekuasaan atas nasib Gading berada di tangannya.
"Baik. Pelajaran kali ini dimulai dengan teknik pernafasan itu. Dengarlah," Ia kemudian menerangkan kunci teknik pernafasan perguruan mereka. Penjelasan itu sangat rinci. Bukan karena ia benar-benar ingin mengajar Gading, tapi ia ingin terlihat hebat di mata murid-murid lain yang mulai berkumpul di lapangan latihan, mengelilingi ia dan Gading.
Teknik itu sebenarnya masih teknik dasar. Hampir semua murid di sana sudah menguasainya. Tapi karena Gading tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk belajar, disebabkan tenaga murninya tidak bisa terbangkitkan, maka baginya menerima teknik itu seperti menerima bongkahan emas. Ia segera menghafalkan semua penjelasan Murad.
"Nah sekarang kita masuk teknik pukulan. Kemarilah. Serang aku!" Meski terdengar bijak, tapi semua orang di lapangan itu tahu Murad sudah gatal tangan ingin menghajar.
Gading maju. Teknik pukulan itu juga menarik perhatiannya. Selama ini meski seringkali dihajar dengan teknik itu, ia tidak bisa menyerap apa-apa karena rasa sakit yang menusuk-nusuk setiap kali pukulan itu hinggap di tubuhnya.
Sekarang tubuhnya tidak lagi merasakan sakit. Ia ingin mempelajari semua. Maka iapun maju dengan sedikit kemampuan tingkat paling dasar yang dipahaminya.
Hampir satu jam ia menerima "pelajaran" itu. Entah sudah berapa puluh kali ia jatuh bangun dihajar Murad. Ia menampakkan wajah meringis kesakitan meski tidak satupun pukulan itu yang dirasakannya.
Wajah dan tubuhnya sudah matang biru. Lalu saat akhirnya Murad menyelesaikan seluruh rangkaian teknik pukulan itu, ia pura-pura terkapar pingsan.
Murad menghapus peluh yang bercucuran di keningnya. Lalu mengatur pernafasan. Ia heran mengapa tenaganya bisa terkuras "mengajari" Gading. Bisanya hanya beberapa pukulan, murid yang disebut sebagai sampah itu sudah terkapar. Ini kali pertama ia harus menyelesaikan seluruh rangkaian teknik pukulan itu.
Bagaimanapun ia tetap merasa puas karena akhirnya Gading terkapar pingsan juga. Tanda keampuhan pukulannya tidak berkurang. Tapi ia masih ingin pamer dihadapan belasa orang murid tingkat dua yang mengerumuni latihan itu.
"Nah, murid tingkat dua. Kalian harus menghafalkan teknik pukulan itu! Nanti aku akan uji kemampuan kalian!" katanya.
Murid-murid tingkat dua itu tercekat. Mereka tidak mau senasib dengan sampah seperti Gading. Satu persatu mereka mencari alasan untuk menghindar. Tapi beberapa orang yang bernasib sial terpaksa menggerutu dalam hati saat diperintahkan untuk membawa Gading ke kamarnya.